Saturday, June 26, 2010

DI ANTARA SEBAB-SEBAB ISTIQAMAH DI JALAN ALLAH



Sesungguhnya nikmat istiqamah di atas agama Allah subhanahu wata’ala merupakan karamah yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Karena dengan istiqamah tersebut, seseorang bisa meraih husnul khatimah (mengakhiri hayatnya dalam keadaan dia berpegang teguh dengan agama Allah ‘azza wajalla serta berjalan di atas syari’at Allah subhanahu wata’ala).



وعن أبي عمروٍ، وقيل: أبي عمرة سفيان بن عبد الله رضي الله عنه قال : قلت : يا رسول الله ! قل لي في الإسلام قولاً لا أسأل عنه أحداً غيرك. قال: قل: آمنت بالله ثم استقم. رواه مسلم.

“Dari shahabat Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: ‘ Wahai Rasulullah katakanlah (jelaskanlah) kepadaku suatu perkara dalam agama islam ini, di mana aku tidak akan bertanya kepada seorang pun setelahnya?! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Katakanlah, (yaitu dengan lisanmu yang disertai dengan keyakinan dalam hati) ‘Aku beriman kepada Allah, kemudian setelah itu istiqamah (tetap lurus)lah engkau di atas keimanan kepada Allah.”



Hadits ini merupakan hadits agung, yang menunjukkan pemahaman yang sangat mendalam dari shahabat Sufyan bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, di mana dia menanyakan suatu pertanyaan yang sangat besar dan mendalam maknanya. Walaupun singkat, namun pertanyaan tersebut mengandung makna yang sangat padat.



Hadits ini juga merupakan jawami’ul kalim yang Allah berikan kepada Rasul dan kekasih-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, di mana beliau mengatakan: ‘Katakanlah: ‘Aku beriman kepada Allah dan kemudian istiqamahlah engkau di atas keimanan tersebut!”



Istiqamah di atas agama Allah subhanahu wata’ala sebagaimana dia memiliki keutamaan di akhirat, dia juga memiliki keutamaan dalam kehidupan dunia ini. Allah subhanahu wata’ala berfirman di dalam kitab-Nya yang mulia:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ.

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan/mengikrarkan bahwasanya Rabb kami adalah Allah, maka Malaikat itu akan turun kepadanya seraya mengatakan ‘janganlah engkau merasa takut dan janganlah engkau merasa bersedih, dan bergembiralah engkau dengan jannah (surga) yang telah dijanjikan oleh Allah kepadamu” (Fush-shilat: 30)



Di dalam ayat ini Allah subhanahu wata’ala menyebutkan beberapa keutamaan istiqamah dan tsabat (kokoh) di atas agama dan iman kepada-Nya. Di antaranya adalah:

1. Bahwasanya Allah subhanahu wata’ala akan menghilangkan rasa khauf (takut) dari hati mereka, dan Allah gantikan dengan rasa aman berupa ketenangan dan ketentraman hati.



2. Dan Allah akan menghilangkan hazan (kesedihan) dari orang yang istiqamah di atas agama-Nya tersebut, sehingga senantiasa mereka bergembira dengan Al-Haq (kebenaran) yang dia berada di atasnya.

Oleh karena itu kita saksikan ahlul istiqamah, nampak pada dirinya ketenangan, karena Allah hilangkan rasa khauf (takut) dan rasa sedih, dan bahkan Allah berikan busyra (berita gembira):

وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ.

“Dan bergembiralah engkau dengan surga yang di janjikan oleh Allah kepada kalian.”



Asal istiqamah adalah keistiqamahan hati dan keteguahan hati di atas agama Allah subhanahu wata’ala. Apabila hati seseorang telah istiqamah dan tsabat di atas agama Allah, maka hal itu akan diikuti keistiqamahan pada lisan, penglihatan, pendengaran, dan pada anggota badannya semuanya. Yang demikian itu disebabkan hati memiliki kedudukan bagaikan raja bagi seluruh anggota badan yang lainnya, di mana segala perintah itu ialah berasal daripadanya, sedangkan anggota badannya tersebut semuanya tanpa terkecuali adalah bagaikan bala tentara yang senantiasa tunduk dan patuh dengan segala perintah dan instruksi yang diberikan olehnya. Sehingga apabila hati itu istiqamah, akan diikuti dengan keistiqamahan anggota badan.



Apabila hati sudah tidak memiliki keistiqamahan dan kekokohan, maka demikian juga anggota badan yang lain pun tidak akan kokoh dan istiqamah di atas ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala.

Dalam hadits yang shahih dari shahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah sesungguhnya di dalam jasad itu terdapat satu mudhghoh (segumpal daging), apa bila satu mudhghoh ini adalah baik maka seluruh badan itu akan baik. Dan apabila mudhghoh (segumpal daging) tersebut adalah rusak, maka akan rusak semua anggota badan, ketahuilah dia itu adalah hati.” (Muttafaqun ‘Alaihi)



Sehingga sangat penting bagi kita semuanya untuk memperbaiki hati, karena dengan baiknya hati tersebut akan diiringi dengan kebaikan seluruh anggota badan.

Dalam menjalankan istiqamah yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wata’ala ini, maka pada diri seseorang pasti akan terjadi khalal (kekurangan), tidak mungkin seseorang bisa sempurna istiqamahnya dan terus menerus tanpa terjadi futur (lesu).



Oleh karena itu, perlu bagi kita untuk memperbanyak taubat kepada Allah dan beristighfar kepadanya atas berbagai kekurangan yang terjadi pada diri kita dalam menjalankan agama Allah subhanahu wata’ala ini.



Dan di antara sebab-sebab yang dengannya seseorang bisa istiqamah di atas agama Allah subhanahu wata’ala adalah:

1. Memperbanyak do’a kepada Allah subhanahu wata’ala

Karena Allah subhanahu wata’ala yang menguasai dan membolak-balikkan hati sesuai dengan kehendak-Nya. Banyak-banyaklah berdo’a kepada Allah dan tidak boleh mengandalkan pada kemampuan dan kejeniusan kita. Berapa banyak orang yang pintar dan berilmu akan tetapi tidak ada jaminan sedikit pun baginya bahwasanya dia bisa istiqamah di atas ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala.



Dan tarikh (sejarah) membuktikan yang demikian, berapa banyak orang dahulu termasuk ahlul istiqamah dan ternyata di akhir hayatnya menyimpang dan meninggalkan Al-Haq setelah dia berada di atasnya.



Kepintaran, kecerdasan, ilmu, dan kelebihan yang lain semuanya adalah mauhub (pemberian) dari Allah subhanahu wata’ala, jangan sekali-kali kita bertumpu kepada kelebihan-kelebihan yang pada dasarnya adalah pemberian dari Allah subhanahu wata’ala tersebut. Hendaknya kita menyandarkan hati kita kepada Allah subhanahu wata’ala.

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ.

“Ya Allah, janganlah Engkau simpangkan/palingkan hati kami, setelah Engkau memberikan petunjuk (membimbing Al Haq) kepada kami. Dan anugrahkanlah kepada kami rahmat-Mu, sesungguhnya Engkaulah Dzat yang memberikannya.” (Ali ‘Imran: 8).



Demikian juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau adalah orang yang paling bertaqwa, paling berilmu, serta paling mengerti tentang haq-haq Rabbnya, dan bahkan beliau adalah manusia yang paling mulia secara mutlak. Beliau tidak mengandalkan dengan keistimewaan-keistimewaan dan kelebihan-kelebihan yang Allah subhanahu wata’ala berikan kepada beliau tersebut, beliau berdo’a kepada Allah subhanahu wata’ala:

اللهم يا مقلب القلوب ثبت قلبي على دينك.

“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.”



Kita yang tidak memiliki kelebihan sedikitpun bahkan kekurangan dalam banyak sisi, lemah iman, lemah ilmu, lemah tawakkal, lemah segalanya, tentu saja lebih dan lebih untuk mengembalikan hati kita kepada Allah, bertumpu kepada-Nya dan memohon untuk bisa istiqamah di atas agama Allah subhanahu wata’ala. Kita berlindung kepada Allah subhanahu wata’ala untuk tidak disesatkan setelah Allah subhanahu wata’ala menunjukkan kepada kita Al-Haq.



2. Duduk bersama dengan orang shalih, bergaul bersamanya dan menjauhakan diri dari orang-orang yang jahat.

Hendaknya kita duduk bersama dengan orang-orang shalih yang akan membimbing kita dan yang akan menasehati kita ketika lupa. Dan kita menjauhi orang-orang jahat yang tidak akan pernah menunjukkan kepada kita jalan kebaikan dan tidak pernah menggandeng tangan kita kepada kebaikan.



Lihatlah kisah seorang pembunuh yang telah menghabisi 99 nyawa, kemudian dia bertanya kepada seorang yang paling berilmu di muka bumi pada waktu itu, dan ditunjukkanlah kepadanya seorang ahli ibadah. Dia sebutkan padanya bahwa dia telah membunuh 99 orang. Kemudian dia bertanya apakah dia masih memiliki kesempatan untuk bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala. Seorang ahli ibadah tersebut -dan dia adalah orang yang jahil- merasa itu sesuatu yang besar sehingga dia fatwakan bahwasanya tiada taubat baginya. Maka ahli ibadah tersebut pun dibunuh sehingga genaplah 100 nyawa dia layangkan.



Kemudian dia bertanya tentang orang yang paling berilmu di muka bumi ini pada waktu itu, dan ditunjukkanlah padanya seorang alim dan diceritakan bahwasanya dia telah melayangkan 100 nyawa. Dan dia bertanya apakah masih memiliki kesempatan untuk bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala untuk membersihkan diri dari dosa tersebut. Seorang alim tersebut mengatakan: “Apakah yang akan menghalangi engkau dari taubat kepada Allah subhanahu wata’ala?” Yakni tidak ada sesuatupun yang menghalangi antara dirimu dengan bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala, bahkan pintu taubat itu terbuka lebar.



Allah subhanahu wata’ala membuka kedua tangan-Nya siang dan malam untuk hamba-hamba-Nya yang bertaubat, Allah buka kedua tangan-Nya di malam hari untuk mengampuni orang-orang yang bertaubat dari dosa-dosa yang dikerjakan di siang hari. Dan Allah subhanahu wata’ala buka tangan-Nya di siang hari untuk mengampuni dosa-dosa orang yang bertaubat dari dosa yang dikerjakan di malam hari.



Kemudian orang alim tadi berwasiat: “Pergilah engkau ke negeri fulan, di sana ada orang-orang shalih yang beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dan beribadahlah kepada-Nya bersama dengan mereka, beribadahlah engkau dengan orang-orang shalih tersebut (orang-orang yang apabila duduk bersama mereka tidak akan pernah celaka dan tidak akan pernah merugi) dan jangan sekali-kali engkau kembali ke kampung halamanmu, karena negerimu adalah negeri yang jelek.”



Perhatikan nasihat orang alim tadi kepada orang yang bertaubat tersebut. Dari hadits tersebut sangat jelas sekali, bahwasanya tempat/lingkungan dan teman yang baik memiliki peran yang sangat besar bagi seseorang untuk menjaga keistiqamahannya di atas ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala.



3. Thalabul ‘ilmi Asy-Syar’i (menuntut ilmu agama)

Belajar agama dan ilmu syar’i melalui tangan para ulama ahlus sunnah wal jama’ah dengan bimbingan dan tuntunan dari mereka. Insya Allah dengan itu kita akan bisa istiqamah di atas agama Allah subhanahu wata’ala. Karena dengan ilmu syar’i tersebut seseorang bisa mengetahui al-haq (yang benar) dari al-bathil (yang salah), seseorang bisa mengetahui al-iman (hakikat iman) dari al-kufr (kekufuran).



Dari shahabat Hanzhalah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya suatu ketika dia pernah berpapasan dengan shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bertanya kepadanya: ‘Bagaimana keadaanmu wahai saudaraku?’ Hanzhalah menjawab: ‘Hanzhalah telah bermunafiq! beramal amalan seorang yang munafiq!’ ‘Umar bertanya: ‘Bagaimana bisa demikian?’ Hanzhalah mengatakan: ‘Kalau aku duduk di majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan tentang surga dan neraka sehingga seakan-akan surga dan neraka itu ada di depan mata kita dan kami pun bisa istiqamah dan tenang di atas agama Allah. Akan tetapi apabila aku tinggalkan majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkumpul dengan keluarga atau menggeluti pekerjaan, banyak sekali dari itu semua yang aku lupa.’ ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan: ‘Demi Allah, sungguh aku merasakan yang demikian itu di hatiku.’ Sampai kemudian keduanya sepakat untuk menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyebutkan apa yang mereka alami tersebut.



Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Sekiranya kalian senantiasa berada dalam kondisi sebagaimana ketika kalian duduk bersamaku (senantiasa mengingat mati, mengingat akhirat, surga, dan neraka sehingga seakan-akan keduanya berada di depan mata), niscaya kalian akan disalami oleh para Malaikat walaupun berada di tempat tidur kalian. Akan tetapi wahai Hanzhalah, sa’atan, sa’atan (sebagian waktu untuk Allah dan sebagian waktu untuk keluarga dan usaha).”



Maksud dari hadits ini adalah bahwasanya menghadiri majelis-majelis ilmu dan para ulama adalah termasuk salah satu sebab dari sebab-sebab yang akan membantu seseorang untuk istiqamah di atas agama Allah subhanahu wata’ala.



Hendaknya kita senantiasa berusaha dan berupaya dengan segenap potensi dan kemampuan yang kita miliki untuk memiliki semangat yang tinggi di dalam menghadiri majelis-majelis ilmu dalam rangka istifadah (mengambil faidah) dari para ulama dan ustadz ahlus sunnah wal jama’ah, karena dengannya akan membantu seseorang untuk istiqamah di atas agama Allah subhanahu wata’ala.

Kita berharap menjadi termasuk di antara orang-orang yang mendapatkan janji dari Allah subhanahu wata’ala.

No comments:

Post a Comment