Friday, May 21, 2010

al kashf dan maratibnya



“Ketahuilah sesungguhnya al-kashf secara literal adalah penyingkapan hijab. Seperti ketika dikatakan: kashafat al-mar’atu wajhaha ( ﺎﻬﻬﺠﻮ ﺓﺃﺭﻣﻠﺍ ﺕﻔﺷﻜ ) artinya: Perempuan itu telah menyingkap wajahnya yaitu dia telah mengangkat niqabnya (kain yang menutup mukanya). Secara terminologis, ia (yaitu kashf) adalah mengetahui al-ma’ani al-ghaibiyyah (yaitu makna-makna tersembunyi) dan al-umur al-haqiqiyyah (yaitu realitas-realitas) disebalik hijab secara wujud (yaitu ontologis) dan juga shuhud (yaitu epistemologis).”



Ada tiga elemen yang membentuk artinya kashf; subjek kashf, objek kashf dan hijab. Subjek tidak bisa mengetahui objek selagi ia berada dibalik hijab. Karena hijab menghalang subjek dari mengetahui objek. Salah satu permasalahan berkaitan dengan arti al-kashf adalah masalah hijab. Apakah hijab itu menyembunyikan dan menyelubungi objek atau disebaliknya, subjek yang diselubungi hijab? Dalam doktrin metafisika, Al-Haq adalah satu-satunya Realitas (the one and only Real).



Kemudian Al-Haq memanifestasikan DiriNya. Al-Haq adalah haqiqat yang tidak terbatas, maka itu tidak mungkin ia disembunyikan atau diselubungi dengan hijab apapun kecuali DiriNya sendiri. Disini kelihatan lagi, paradoks metafisika tentang manifestasi. Manifestasi pada masa sama menyatakan dan menampakkan Al-Haq, ia juga menyembunyikan Al-Haq. Tajalli dan hijab adalah satu. Tajalli adalah Al-Haq sendiri, begitu juga hijab.



Tetapi ketika manusia mengobjektivisasikan dirinya, dia akan terlihat sebagai satu objek keberadaan yang individual, yang dikenali sebagai “aku.” Dan “aku” ini sebenarnya adalah satu ilusi yang sangat ilusif. Individualitas manusia akan menjadi hijab, tetapi bukan hijab yang menyelebungi Al-Haq. Ia adalah hijab yang mengaburi manusia hingga penglihatan manusia tidak tajam dan tida bisa menembusi ilusi tersebut. Maka itu Allah dalam firmanNya pernah mengisyaratkan;
ﺪﻳﺪﺤ ﻢﻮﻳﻠﺍ ﻚﺭﺼﺒﻓ ﻚ ﺀﺎﻄﻏ ﻚﻨﻋ ﺎﻨﻓﺷﻜﻓ
artinya: “Maka Kami telah menyingkap dari kamu hijab kamu dan penglihatan kamu hari ini tajam.”
Menyingkap hijab bukan berarti hijab itu dirobek agar bisa melihat apa yang tersembunyi dibaliknya. Tetapi penyingkapan artinya menembusi hijab dengan penglihatan karena hijab telah menjadi transparen. Dan semua ini akan terjadi dengan Karunia Ilahi (Divine Grace).
Setiap kali hijab tersingkap ini berarti bahwa individualitas manusia mulai terhapus. Maka itu penyingkapan hijab agak sinonimos dengan penghilangan diri. Karena hijab adalah individualitas manusia itu sendiri.



Dua kashf: al-Suri dan al-Ma’nawi
Qaysari menjelaskan;
“dan ia (yaitu kashf) adalah ma’nawi ( ﻱﻮﻧﻌﻤﻠﺍ ) dan suri ( ﻱﺭﻮﺼﻠﺍ ). Dan yang aku maksudkan dari al-suri adalah apa yang terhasil dalam ‘alam al-mithal melalui persepsi panca indera lima.”

Menurut para ‘Arifin kashf ada dua macam; pertama al-ma’nawi ( ﻱﻮﻧﻌﻤﻠﺍ )
dan kedua al-suri ( ﻱﺭﻮﺼﻠﺍ ). Kashf al-Suri adalah penyingkapan yang terjadi di alam mithal. Dan penyingkapan itu terjadi dengan panca indera lima. Manusia bisa berinteraksi dan berkomunikasi dalam setiap derajat alam. Di alam al-mulk atau alam sensible/corporeal, manusia berinteraksi dengan alam tersebut lewat panca indera lahiriahnya. Dia bisa menyadari dan merasakan kehadiran alam al-mulk ketika panca inderanya aktif dan operatif. Ketika manusia memasuki alam al-malakut al-mithali, dia akan berkomunikasi lewat indera yang sesuai dengan alam itu. Sebagaimana alam fenomena ini mempunyai form-form barzakh mithali, begitu juga indera manusia. Didalam batin manusia, inderanya wujud dalam form barzakh. Maka itu ia sering dipanggil sebagai indera barzakhi.



Dengan indera barzakhi ini, manusia bisa mempersepsi haqiqat-haqiqat yang ada dalam bentuk mithali. Karena alam barzakh berada dalam level batin yang tersembunyi dibalik alam sensible, maka itu alam sensible ini bisa dikatakan sebagai hijab yang menyelubungi alam al-mithali. Kesadaran manusia terhadap alam al-mithali adalah satu penyingkapan atau kashf. Dan karena di alam al-mithali semua haqiqat-haqiqatnya maujud dalam form-form barzakhi, maka itu manusia bisa mempersepsinya lewat indera barzakhi. Penyingkapan seperti ini adalah penyingkapan suri/formal (yaitu “with form”).



Al-Mushahidah: Penyingkapan ini bisa terjadi lewat al-mushahidah yaitu indera barzakhi penglihatan, seperti ketika al-mukashif (yaitu manusia yang menyingkap) melihat form-form al-arwah al-mutajassidah (yakni ruh-ruh immaterial yang telah menjadi muta’ayyan dalam form-form barzakhi) atau al-anwar al-ruhaniyyah (yakni cahaya-cahaya spiritual yang telah menjadi muta’ayyan dalam form-form barzakhi).

Al-Sima’: penyingkapan yang terjadi lewat pendengaran barzakhi. Seperti ketika Nabi mendengar wahyu yang diturunkan dalam bentuk perbicaraan yang teratur. Atau ketika Nabi mendegar suara lonceng atau suara lebah sebagaimana yang diceritakan dalam hadith-hadith. Nabi mendengarnya dan memahami dengan jelas maksudnya.



Al-Istinsyaq: penyingkapan lewat mencium bau barzakhi yang sering diistilahkan sebagai al-tanasum bi l-nafahat al-Ilahiyyah (Breath of the Divine Breeze).

Al-Mulamisah: penyingkapan lewat sentuhan. Dan ia terjadi ketika dua cahaya atau dua jasad mithali bertemu dan berhubung. Seperti yang disampaikan oleh ‘Abd al-Rahma ibn ‘Auf bahwa Nabi pernah bersabda: “Aku telah melihat Rabb ku tabaraka wa ta’ala dalam sebaik-baik form/bentuk. Dan Dia berkata: apakah sebab pertempuran al-Mala’u l-A’la Wahai Muhammad? Aku menjawab: Engkau lebih mengetahui ya Tuhanku, dua kali. Nabi berkata: Maka Allah meletakkan tapak tanganNYa diantara dua bahuku. Dan aku merasakan dinginnya diantara dua dadaku. Maka aku pun mengetahui apa yang ada dilangit-langit dan juga apa yang ada dibumi.” Kemudian Nabi membaca ayat ini: Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim malakut langit-langit dan bumi agar dia menjadi orang yang yaqin.”



Al-Dhawq: penyingkapan lewat rasa seperti merasakan berbagai rasa. Maka ketika setelah dia merasakannya dia akan memakannya. Dan di situ dia akan mengetahui al-ma’ani al-ghaibiyyah yaitu makna dan artinya yang tersembunyi.

Penyingkapan-penyingkapan ini bisa saja tergabung dan terkadang terpisah. Dan sebenarnya semuanya ini adalah al-Tajalliyyat al-Asma’iyyah, karena al-shuhud adalah dari tajalli Nama Al-Basir dan pendengaran adalah dari tajalli Nama Al-Sami’ dan seterusnya. Dan juga karena setiap penyingkapan berada dibawah penguasaan Nama yang mengurusinya. Dan semuanya berada dibawah penguasaan Nama Al-‘Alim, walaupun semuanya adalah ummahat al-Asma’.



Berbagai macam al-kashf al-suri:
Ada yang berkaitan dengan kejadian-kejadian duniawi, seperti mengetahui dan mengkhabarkan kedatangan Ali dari perjalanan atau dia tahu Hasan akan memberi seribu dinar kepada Zaid. Penyingkapan seperti ini, diistilahkan sebagai Ruhbaniyyah, karena mereka mengetahui hal-hal ghaib duniawi ini lewat riyadah dan mujahidah mereka.

Tetapi ahli Suluk, karena tidak memberi perhatian dan tidak mementingkan hal-hal duniawi seperti ini, tidak akan melihat penyingkapan seperti ini. Karena mereka lebih terfokus kepada hal-hal ukhrawi. Malah mereka tidak begitu menanggapi mukashafat yang seperti ini dan menganggapnya sebagai al-istidraj yaitu kemunduran derajat dan al-makr bi l-‘abd yaitu satu helah terhadap hamba. Bahkan kebanyakan dari mereka, tidak menanggapi mukashafat ukhrawi. Mereka hanya mau menuju kearah fana’ fi l-Lah dan baqa’ bi l-Lah.



Tetapi al-‘Arif al-Muhaqqiq, karena ma’rifatnya tentang Allah serta maratib dan manifestasiNya dalam martabat dunia dan akhirat , sama sekali tidak menanggapi itu semua. Dia tidak melihat apapun selain Allah dan melihat semuanya ini adalah tajalliyyat Ilahiyyah (Divine Manifestations). Al-Haq tidak menghalangnya dari melihat dan menyadari al-Khalq, begitu juga al-khalq tidak menjadi hijab untuk dia melihat Al-Haq.

Bahkan penyingkapan yang berkaitandengan hal-hal duniawi sebenarnya bukanlah kashf haqiqi. Dan mereka yang merasa puas dengan penyingkapan seperti ini adalah mereka yang jauh dari al-Haq. Mereka akan menjadikan ia sebagai alas an untuk mendapatkan pangkat dan kedudukan didunia.



Ada pula penyingkapan yang tidak berkaitan dengan hal-hal duniawi, tetapi berkaitan dengan hal-hal al-haqiqiyyah al-ukhrawiyyah (eschatological realities) dan al-haqaiq al-ruhaniyyah (spiritual realities) dari al-arwah al-‘aliyyah (ruh-ruh derajat tinggi) dan al-malaikat al-samawiyyah (malaikat langit) dan al-ardiyyah (malaikat bumi). Penyingkapan seperti inilah yang seharusnya menjadi tumpuan dan ia juga mu’tabar.



Penyingkapan seperti ini namu ia terjadi di alam form barzakhi tetapi jarang sekali terjadi tanpa menyingkap al-ma’ani al-ghaibiyyah, bahkan kebanyakannya akan mengandungi al-mukashafat al-ma’nawiyyah. Maka martabat kashf yang tertinggi dan lebih yakin adalah penyingkapan yang merupakan gabungan dari al-sura (form) dan al-ma’na (meaning).

Penyingkapan komprehensif ini, bisa terjadi dengan menyingkapi seluruh hijab-hijab atau hanya sebagian saja yang tersingkap. Berarti seorang salik dalam perjalanannya menuju Al-Haq akan menembusi berbagai lapisan hijab-hijab, hingga ada yang menyaksikan (al-mushahadah) haqiqat-haqiqat di martabat al-A’yan al-Thabitah di al-hadrat al-‘ilmiyyah al-Ilahiyyah. Kemudian diderajat bawahnya, mereka yang menyingkap haqiqat di martabat al-‘Aql al-Awwal serta derajat aqal selainnya. Setelah itu, penyingkapan di al-lawh al-mahfuz dan al-nufus al-mujarradah selainnya. Dan seterusnya di kitab al-mahw wa l-ithbat dan hingga ke derajat bawahnya. Karena semua martabat-martabat ini adalah kitab-kitab Ilahiyyah yang disaksikan seorang salik.



Martabat yang tertinggi lewat al-Sima’ adalah mendengar Kalam Allah tanpa perantaraan, seperti ketika Nabi mendengarnya didalam mi’raj dan juga ketika beliau mengisyaratkan;
“Bagiku ada waktu bersama Allah, dimana tidak ada al-malak al-muqarrab dan juga al-nabiy al-mursal yang bisa menggarapinya.”
Kemudian mendengar Kalam Ilahi dengan perantaraan Jibrail, seperti mendengar Al-Quran. Kemudian mendengar kalam al-‘Aql dan al-‘uqul selainnya. Kemudian mendengar al-nafs al-kulliyyah dan al-malaikat al-samawiyyah dan seterusnya.



Qaysari menjelaskan bahwa sumber berbagai mukashafat ini adalah al-qalb al-insani dan intelek amalinya yang bercahaya yang menggunakan indera ruhaniyyah. Karena qalbu manusia mempunyai penglihatan, pendengaran dan sebagainya. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh Tuhan dalam firmanNya: “Maka sesungguhnya tidak buta mata-mata (al-absar) tetapi buta hati-hati (al-qulub) yang ada didalam dada.” Dan “Allah telah menutup keatas hati-hati mereka dan pendengaran-pendengaran mereka dan penglihatan-penglihatan mereka dengan tirai.”

Dan indera ruhaniyyah ini adalah asas serta batin indera jasmaniyyah. Ketika tersingkap hijab antara ruhani dan dimensi konkrit maka akan menyatu asas (indera ruhaniyyah) dan cabang (indera jasmaniyyah). Dan dia akan mempersepsi dengan indera jasmaniyyah apa yang dipersepsikan dengan indera ruhaniyyah.



Ruh akan menyaksikan semuanya ini secara esensial. Karena seluruh haqiqat yang ada sebenarnya menyatu dengan ruh dalam martabatnya dengan kebaradaan yang “undifferentiated” dan “comprehensive”. Maka itu, al-‘Aql al-Awwal adalah satu keberadaan yang “all-comprehensive” dan seluruh haqiqat terpadu didalamnya secara “undifferentiated”.

Perjalanan dalam al-mukashafat:
Mukashafat seperti ini, pada permulaan suluk akan terjadi dalam al-khayal al-muqayyad. Kemudian secara perlahan ia akan menjadi malakah, ketika itu ia akan berpindah ke alam al-mithal al-mutlaq, dan akan mempersepsi hal-hal yang berkaitan dengan al-anasir (elements). Dan akan meneruskan perjalanannya hingga sampai ke al-Lawh al-Mahfuz dan al-‘Aql al-Awwal yang merupakan dua form Umm al-Kitab .



Dan dia akan sampai ke hadrat al-‘Ilm al-Ilahi, disana dia akan menyaksikan al-A’yan sekadarmana yang dikehendaki Allah ta’ala. Sebagaimana firmanNya: “mereka tidak akan menggarapi sesuatupun dari ilmuNya kecuali sekadarmana yang dikehendakiNya.” Dan ini adalah martabat shuhud yang paling tinggi yang bisa tercapai oleh hamba-hambaNya . Karena diatas martabat ini adalah martabat shuhud al-Dhat yang memfana’kan hamba ketika tajalli (yaitu maqam al-fana’ fi l-Dhat wa l-baqa’ bi l-Dhat). Kecuali jika Dia termanifestasi dibalik tirai al-Asmaiyyah yaitu ‘ayn al-A’yan yaitu dalam maqam al-baqa’ ba’d al-fana’ atau al-sahw ba’d al-mahw.



Al-Kashf al-Ma’nawi:
Al-kashf al-ma’nawi adalah penyingkapan yang terjadi tanpa form haqiqat-haqiqat. Dengan kata lain objek yang tersingkap hanyalah makna murni yang tidak terbungkus atau termanifestasi dalam form barzakh, baik di al-khayal al-muqayyad atau di al-khayal al-mutlaq. Dan penyingkapan ini merupakan tajalli dari Nama Al-‘Aleem. Maka itu al-kashf al-ma’nawi adalah manifestasi makna-makna ghaibiyyah dan haqiqat-haqiqat ‘ayniyyah. Penyingkapan ini akan terjadi dalam level-level manusia yang berbeda.



Martabat pertama penyingkapan ma’nawi adalah termanifestasinya makna-makna dalam al-quwwat al-mufakkirah (fakultas pemikiran – reasoning faculty) tanpa mengaplikasikan pengantar-pengantar dan susunan syllogism. Penyingkapan seperti ini adalah penyingkapan ilmiyyah bukan ‘ayniyyah. Dan ia diistilahkan sebagai al-hads atau intuition .

Martabat kedua, adalah penyingkapan dalam al-quwwat al-‘aqilah (fakultas intelektual) yang menggunakan al-quwwat al-mufakkirah. Al-quwwat al-‘aqilah adalah sebuah fakultas ruhaniyyah yang juga dinamakan sebagai al-nur al-qudsi (the sacred light). Dan al-hads adalah pancaran dari cahayanya. Martabat ini sebenarnya adalah derajat kashf yang paling bawah sekali. Maka itu dikatakan bahwa al-fath (pembukaan/opening) ada dua macam; pertama al-fath dalam al-nafs, yang mengaruniakan ilmu lengkap (complete knowledge) secara naqli dan aqli. Kedua adalah al-fath dalam al-ruh, yang mengaruniakan ma’rifat (gnosis) secara wujudi (bukan naqli dan ‘aqli).



Martabat ketiga, penyingkapan dalam al-qalb. Jika yang tersingkap adalah satu makna dari al-ma’ani al-ghaibiyyah dan bukan satu haqiqat dari al-haqaiq , maka penyingkapan ini dinamakan al-ilham. Jika yang tersingkap adalah ruh dari al-arwah al-mujarradah (immaterial spirits) atau ‘ayn/entitas dari al-a’yan al-thabitah, maka penyingkapan ini dinamakan al-mushahadah al-qalbiyyah.

Martabat keempat, penyingkapan dalam al-ruh yang dinamakan sebagai al-shuhud al-ruhi (spiritual witnessing). Al-ruh secara esensial dan sesuai dengan isti’dad aslinya akan menjadi penerima (receptacle) al-ma’ani al-ghaibiyyah langsung dari Allah yang Al-‘Aleem tanpa perantaraan. Dan kemudian ia akan meng-emanasi kepada derajat-derajat bawahnya seperti al-qalb dan fakultas-fakultas ruhaniyyah serta jasmaniyyah. Hal ini akan terjadi kepada al-ruh dari kalangan al-kummal ( manusia-manusia yang sempurna) dan al-aqtab (para qutub). Seperti matahari yang menerangi arwah derajat langit dan juga jasad-jasad derajat bumi.



Tetapi al-ruh dari kalangan yang bukan al-kummal dan al-aqtab, akan menerima al-ma’ani al-ghaibiyyah dari Allah lewat perantaraan seorang qutub sesuai dengan isti’dad serta kedekatan mereka kepadanya. Atau mereka akan menerimanya lewat perantaraan al-arwah yang mana mereka berada dibawah dominasi dan tarbiyyahnya, baik al-arwah dari al-jabarut maupun dari al-malakut.

Martabat kelima, penyingkapan martabat al-sirr dan keenam adalah martabat al-khafi, yang tidak mungkin diisyaratkan bagaimana haqiqat penyingkapannya. Karena tidak ada bahasa yang bisa mengekspresikan penyingkapan di maqam itu. Martabat ketujuh, yaitu penyingkapan martabat al-akhfa, sama sekali tidak disebut oleh Qaysari.



Kesemua makna yang tersingkap disini, akan mulai dari al-hal yaitu penyingkapan yang belum menyatu dengan al-salik. Tetapi ketika ia berlanjutan ia akan menjadi malakah dan maqam untuk salik. Ketika itu, al-salik sebenarnya telah menyatu ilmunya dengan ilmu al-Haq seperti menyatunya cabang kepada asal. Maka dengan ini, seorang salik telah mencapai maqam kashf yang tertinggi.

Kemudian Qaysari menjelaskan bahwa maqam-maqam al-kashf ini tidak bisa terhitung karena isti’dad para salikin yang berbeda dan juga karena munasibah ruh serta tawajjuh mereka terhadap segala bentuk kashf itu sangat beragam. Tetapi kashf yang paling benar dan lengkap akan terjadi kepada mereka yang mizaj spiritualnya lebih dekat kepada keseimbangan sempurna (complete equilibrium) seperti arwah para anbiya’ dan al-kummal dari kalngan para awliya’. Kemudian kashf mereka yang paling dekat kepada anbiya dan awliya dalam hubungan spiritual serta suluknya.



Perbedaan antara Ilham dan Wahyu
Para ‘Arifin yang muhaqqiqin menjelaskan perbedaan antara ilham dan wahyu dalam 4 perkara;
1) antara manusia dan Tuhan ada dua macam hubungan; a) hubungan langsung manusia/Tuhan dan b) hubungan berperantaraan. Ketika manusia mendapat penyingkapan secara langsung lewat hubungan langsung manusia dengan Tuhan, cara dia di ilqa’kan haqiqat-haqiqat ini dinamakan sebagai al-ilham. Tetapi sekiranya dia mandapatkan haqiqat-haqiqat tersebut dengan perantaraan malaikat, cara ilqa’ yang begini dinamakan al-wahyu. Maka itu al-ahadith al-qudsiyyah tidak dipanggil wahyu atau Quran walaupun ia adalah kalam Allah.
2) Wahyu adalah mukashafat al-shuhudi atau al-suri yang mengandungi kashf al-ma’nawi. Tetapi al-ilham adalah kashf al-ma’nawi saja.
3) Wahyu adalah dari ciri khas nubuwwah karena ia berkaitan dengan maqam zahir sementara ilham adalah ciri khas wilayah.
4) Wahyu adalah penyingkapan yang bersyaratkan al-tabligh, sementara ilham tidak seperti itu.



Perbedaan antara al-waridat al-rahmaniyyah dengan al-malakiyyah, al-jinniyyah dan al-shaitaniyyah
Para ‘Arifin menjelaskan ketika terjadi penyingkapan, sang salik akan menyaksikan haqiqat-haqiqat di dimensi batin. Dengan penyaksian ini, haqiqat-haqiqat tersebut akan termanifestasi bagi sang salik, cara termanifestasinya diistilahkan dengan berbagai istilah, seperti al-ilqa’at ( ﺕﺎﺋﺎﻘﻠﻻﺍ ) dan al-khawatir (ﺭﻄﺍﻭﺨﻠﺍ ) dan al-waridat (ﺕﺍﺩﺭﺍﻮﻠﺍ ). Tetapi al-waridat yang masuk kepada sang salik, tidak semuanya itu benar dan tanpa distorsi karena sumbernya yang sangat berbeda. Maka itu para ‘Arifin menjelaskan bahwa al-waridat ada empat, berdasarkan sumber yang berbeda; 1) al-waridat al-Rahmaniyyah 2) al-waridat al-malakiyyah 3) al-waridat al-jinniyyah dan 4) al-waridat al-shaitaniyyah. Karena adanya al-waridat yang berbeda ini, maka itu para ‘arifin membutuhkan kepada suatu timbangan atau ukuran yang bisa membedakannya. Disini qaysari hanya mengisyaratkan sebagian dari ciri-ciri al-waridat.



Al-waridat yang setiap kali menjadi sebab satu kebaikan yang pada akibatnya aman dari bahaya yang membinasakan dan juga ia tidak terpindah dengan cepat kepada selainnya dan akan terwujud setelahnya satu kesadaran total terhadap Al-Haq serta kelezatan besar yang mendorong dia untuk beribadah, adalah al-waridat al-malakiyyah atau al-Rahmaniyyah . Dan sebaliknya adalah al-waridat al-shaitaniyyah . Tetapi menurut sebagian para ‘arifin, timbangan yang paling jelas adalah shariat Ilahi.


Qaysari sempat mempersoalkan sebagian ‘arifin yang menyatakan bahwa apa yang termanifestasi dari sebelah kanan dan dari depan, biasanya adalah al-malaki, dan yang datang dari sebelah kiri atau belakang, kebanyakannya adalah shaitani. Menurut beliau kenyataan ini tidak bisa dijadikan ukuran untuk membedakan al-waridat. Karena Allah pernah mengisyaratkan dalam firmanNya bahwa shaitan akan datang dari empat arah; dari depan, belakang, kiri dan kanan. Dari depan adalah hal-hal duniawi, seperti menghadirkan suatu objek yang tidak ada (seperti menghadirkan atau mewujudkan epal tidak dalam musimnya).



Atau mengkhabarkan kedatangan Zaid besok harinya. Semua yang seprti ini sangat tidak relevan bagi sang ‘Arif karena ia adalah al-waridat al-jinniyyah. Termasuk juga menjelajah ruang dan waktu dan menembusi tembok tanpa terbelah, ini semua adalah ciri-ciri jin. Dan jika ia berkaitan dengan hal-hal ukhrawi atau mengetahui sesuatu yang tersembunyi dalam hati, ini adalah al-malaki karena jin tidak bisa ada akses dan kemampuan keatasnya. Dan jika ia memberikan satu kekuatan kepada sang mukashif untuk menguasai alam al-mulk dan al-malakut seperti menghidupkan dan mematikan dan mengeluarkan orang yang terperangkap dalam alam barzakh atau memasukkan para murid kedalam alam malakut, ini adalah al-Rahmani. Karena hal-hal seperti ini adalah dari ciri-ciri al-martabat al-Ilahiyyah yang tertegak didalam dirinya.



Sebenarnya dalam hal al-waridat dan sebagainya, sang salik harus berada didalam bimbingan seorang Shaikh murshid yang benar-benar memiliki kesadaran terhadap Al-Haq dan dia juga ahli mukashafah. [muhammad baqir]

No comments:

Post a Comment