Monday, May 31, 2010
doa
Allah swt. berfirman:
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan dalam kerahasiaan.” (Q.s. A-A’raf. 55).
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. “(Q.s. Al-Mu’min: 60).
Rasulullah saw telah bersabda:
“Doa adalah inti ibadat.” (H.r. Tirmidzi, dari Anas bin Malik).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Doa adalah kunci bagi setiap kebutuhan. Doa adalah tempat beristirahat bagi mereka yang membutuhkan, tempat berteduh bagi yang terhimpit, kelegaan bagi perindu.”
Allah swt. menghinakan orang yang meninggalkan doa, dengan firman-Nya:
“Mereka menggenggamkan tangannya.” (Q.s. At Taubah: 67).
Ditafsirkan bahwa ayat ini bermakna, “Mereka tidak mengangkat tangan mereka dengan terbuka untuk berdoa kepada Kami.”
Sahl bin Abdullah menuturkan, “Allah swt. menciptakan makhluk dan berfirman, ‘Percayakanlah rahasia-rahasiamu kepada-Ku. Kalau tidak, maka melihatlah kepada-Ku. Kalau tidak, maka dengarkanlah Aku. Kalau tidak, maka menunggulah di depan pintu-Ku. Jika tak satu pun dari ini semua yang engkau lakukan, katakanlah kepada-Ku apa kebutuhan-Mu’.”
Sahl juga berkata, “Doa yang paling dekat untuk dikabulkan adalah doa seketika,” yang maksudnya adalah doa yang terpaksa dipanjatkan oleh seseorang dikarenakan kebutuhannya yang mendesak terhadap apa yang didoakannya.
Abu Abdullah al-Makanisy berkata, “Aku sedang bersama al Junayd ketika seorang wanita datang dan meminta kepadanya, `Berdoalah untukku agar Allah mengembalikan anakku kepadaku, karena dia telah hilang.”al-Junayd mengatakan kepadanya, `Pergilah, dan bersabarlah.’ Kemudian wanita itu berlalu, kemudian kembali lagi meminta al-Junayd agar berdoa lagi. al-Junayd menjawab, `Pergilah dan bersabarlah.’ Hal ini berlangsung berkali-kali, dan setiap kali al-Junayd mengatakan agar wanita itu bersabar. Akhirnya wanita itu berkata,
`Kesabaranku telah habis. Sudah tidak ada lagi sisa kesabaranku.’ Al-Junayd menjawab, `Jika demikian halnya, pulanglah sekarang, sebab anakmu telah kembali.’ Wanita itu pun pulang, dan menemukan anaknya.
Dia kembali kepada al-Junayd untuk mengucapkan terima kasih. Seseorang, bertanya kepada
al-Junayd, `Bagaimana engkau bisa tahu?’ Dia menjawab,
Allah swt. telah berfirman:
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila
ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan.’ (Q.s. An-Naml: 62).”
Orang berbeda pendapat mengenai mana yang lebih baik Berdoa ataukah berdiam diri dan bersikap ridha. Di antara mereka ada sebagian yang berkata, “Doa itu sendiri adalah ibadat, sebab Nabi saw telah bersabda, ‘Doa adalah otak ibadat.’ Adalah lebih balk melaksanakan apa pun yang merupakan amal ibadat daripada melewatkannya. Disamping itu, berdoa adalah hak Tuhan atas manusia. Kalaupun Dia tidak mengabulkan doa si hamba dan si hamba tidak memperoleh manfaat dengan doanya, namun sang hamba telah melaksanakan hak Tuhannya, sebab doa adalah ungkapan lahiriah kebutuhan penghambaan.”
Abu Hazim al-A’raj berkata, “Dihalangi berdoa adalah lebih menyedihkan hatiku daripada terhalangi untuk tidak dikabulkan.” Ada orang lain yang menegaskan , “Diam dan tidak berbuat apa-apa dalam menjalani ketetapan Tuhan adalah lebih sempurna daripada berdoa.
Bersikap ridha atas apa pun yang dipilih Allah untuk kita adalah lebih utama. Sehubungan dengan alasan ini, al Wasithy mengatakan, “Memilih apa yang telah ditetapkan bagimu dalam zaman azali adalah lebih balk bagimu daripada menentang keadaan yang ada sekarang.” Nabi saw bersabda, ‘Allah swt. berfirman dalam hadis Qudsi, Aku memberi kepada orang yang terlalu sibuk mengingat-Ku hingga tak sempat berdoa, lebih banyak daripada yang Kuberikan kepada mereka yang berdoa.”
Ada kelompok kaum yang berkata, “Si hamba harus berdoa dengan lidahnya, sementara pada saat yang sama dia juga bersikap ridha, dan dengan demikian menggabungkan keduanya itu.”
Pendapat yang lebih utama dalam hal ini adalah mengatakan bahwa waktu dan situasi itu berbeda-beda. Dalam situasi tertentu, doa adalah lebih baik daripada diam, yaitu sebagai perilaku adab seorang hamba. Sementara dalam keadaan lain, berdiam diri adalah lebih baik daripada doa, yaitu sebagai alasan adab pula.
Ini hanya bisa diketahui dalam waktu, karena pengetahuan mengenai waktu, jika seseorang mendapati hatinya condong untuk berdoa, maka berdoa adalah paling baik. Jika dia mendapati hatinya condong kepada berdiam diri, maka berdiam diri lebih baik.
Benar juga dikatakan bahwa tidaklah patut bagi si hamba untuk tidak mengabaikan penyaksian terhadap TuhannyaYang Maha Luhur ketika berdoa. Dia juga harus memberikan perhatian cermat kepada keadaan dirinya. Jika dia mengalami kelapangan yang meningkat dalam keadaan berdoanya, maka berdoa adalah paling baik baginya. Jika dia mengalami semacam kendala dan hatinya merasa sempit ketika berdoa, maka yang paling baik baginya adalah meninggalkan berdoa pada saat itu.
Jika dia tidak mengalami yang manapun dari kedua hal ini, maka terus berdoa ataupun meninggalkannya adalah sama saja baiknya. Jika kepeduliannya yang utama adalah pada keadaan ma’rifat dan berdiam diri, maka menghindari berdoa adalah lebih baik baginya. Dalam soal-soal yang menyangkut nasib kaum Muslimin atau yang berkaitan dengan kewajiban seseorang terhadap Allah, maka berdoa adalah lebih baik daripada tidak, tapi dalam perkara-perkara yang menyangkut kebutuhan diri sendiri, maka berdiam diri adalah lebih baik.
Dalam sebuah hadist disebutkan, ‘Apabila seorang hamba yang dicintai Allah berdoa, maka Allah berfirman, ‘Wahai Jibril, tundalah memenuhi keperluan hamba-Ku itu, karena Aku senang mendengarkan suaranya.’ Apabila seseorang yang tidak disukai Allah berdoa, Dia berfirman, ‘Wahai Jibril, penuhilah keperluan hamba-Ku itu, karena Aku tak suka mendengar suaranya’.”
Diceritakan bahwa Yahya bin Sa’id al-Qaththan bermimpi melihat Allah swt. dan ia berkata, “Wahai Tuhanku, betapa banyak kami telah berdoa kepadamu, tapi Engkau tidak mengabulkan doa ka
kami!” Dia menjawab, “Wahai Yahya, itu karena Aku senang mendengarkan suaramu.”
Nabi saw menjelaskan:
“Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya, apabila seseorang yang dimurkai Allah berdoa, Dia akan menolaknya. Lalu orang itu berdoa lagi, akhirnya Allah swt. berfirman kepada para malaikat-Nya, ‘Hamba-Ku menolak untuk berdoa kepada selain pada Ku, makaAku pun mengabulkan doanya’.” (H.r. Ali r.a, dan dikeluarkan oleh al-Hakim).
Al-Hasan meriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. yang menuturkan, “Pada masa Nabi saw, ada seorang laki-laki yang berdagang antara Syam dan Madinah serta dari Madinah ke Syam. Dia biasa bepergian, tanpa bergabung dengan kafilah-kafilah demi tawakkal kepada Allah swt. Sekali waktu, ketika dia bepergian dari Syam ke Madinah, seorang penyamun mencegatnya dan berkata kepadanya, `Berhenti!’ Pedagang itu pun berhenti dan berkata kepada si penyamun, Ambillah barang-barangku tapi janganlah kau rintangi jalanku!’ Si penyamun menjawab, `Urusan harta bukan urusanku, tapi dirimulah yang kukehendaki.’ Maka pedagang itu menjawab, Apa yang kau kehendaki dariku, bukankah urusanmu itu hartaku? Ambillah barang-barang itu dan enyahlah!’ Si penyamun mengulangi apa yang telah dikatakannya.
Si pedagang berkata, `Tunggulah sampai aku berwudhu dan berdoa kepada Tuhanku.’ Maka si pedagang pun bangkit, berwudhu, lalu shalat empat rakaat. Setelah itu dia mengangkat tangannya ke langit dan berdoa, `Wahai Yang Maha Penyayang, wahai Yang Maha Penyayang, wahai Pemilik Arasy yang Agung, wahai Yang dari-Nya segala sesuatu berasal dan kepada-Nya segala sesuatu kembali, wahai Yang Maha melakukan apa yang dikehendaki-Nya, aku memohon kepada-Mu dengan cahaya Wajah-Mu yang memenuhi segenap penjuru `Arasy-Mu, aku memohon kepada-Mu dengan kekuasaan yang dengannya Engkau memerintah makhluk-Mu, dan dengan kasih sayang-Mu, tidak ada Tuhan selain Engkau, wahai Maha Penolong, tolonglah aku!’
Diucapkannya doa itu tiga kali. Ketika dia selesai berdoa, tiba-tiba muncullah seorang penunggang kuda yang berwarna abu-abu dan berpakaian hijau dengan memegang tombak yang terbuat dari cahaya. Ketika si penyamun melihat pengendara kuda itu, ditinggalkannya si pedagang dan disongsongnya si pengendara kuda itu.
Ketika sudah dekat,
si penunggang kuda itu menyerang si penyamun sehingga si penyamun terlempar dari atas kudanya. Kemudian penunggang kuda mendatangi
si pedagang dan memerinahkan, bunuhlah dia!’ Namun
si pedagang itu balik berkata, `Siapa Anda? Aku tak pernah membunuh seseorang, dan diriku tak layak membunuhnya.’
Lalu penunggang kuda itu menuju si penyamun langsung membunuhnya. Kemudian datang pada si pedagang, sambil memberitahu, itu adalah seorang malaikat dari langit ketiga. Ketika engkau berdoa Untuk pertama kalinya, kami mendengar bunyi gaduh di pintu gerbang langit. Kami berkata, `Sebuah kejahatan telah terjadi.’ Ketika engkau berdoa’untuk kedua kalinya, pintu langit terbuka dan terlihat seberkas nyala api. Ketika engkau berdoa untuk ketiga kalinya, Jibril as. turun ke langit kami dan berteriak, `Siapakah yang mau menolong orang yang tertekan itu? Aku memohon kepada Allah swt. agar diizinkan membunuh penyamun itu. Ketahuilah, wahai hamba Allah, bahwa Allah akan memberikan kelapangan dan pertolongan kepada siapa saja yang berdoa dengan doamu tadi pada setiap saat yang penuh tekanan, malapetaka dan keputus-asaan.’
Setelah itu si pedagang melanjutkan perjalanannya dengan aman sampai ke Madinah dan pergi menemui Nabi saw serta menceritakan kisahnya kepada beliau, juga tentang doa yang diucapkannya. Nabi saw bersabda kepadanya, Allah telah mengilhamimu dengan Nama-nama-Nya yang paling indah, yang jika disebutkan dalam doa, niscaya
Dia akan mengabulkannya. Jika Dia dimohon dengan Nama-nama itu, Dia akan menganugerahkannya’.”
Di antara etika berdoa adalah adanya kehadiran hati. Berdoa tak boleh dilakukan dengan hati yang lalai. Diriwayatkan bahwa Nabi saw telah bersabda:
”Sesungguhnya Allah swt. tidak akan menjawab doa seorang hamba yang hatinya alpa.” (H.r. Tirmidzi dan Ahmad). Persyaratan lain adalah bahwa makanan si hamba haruslah diperoleh secara halal. Nabi saw menegaskan: “Perbaikilah kerjamu, niscaya doamu dikabulkan. “
(H.r. Thabrani).
Dikatakan, “Doa adalah kunci bagi kebutuhan seseorang, dan gerigi kunci tersebut adalah makanan yang halal.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Tuhanku, aku seorang pendosa; bagaimana aku bisa berdoa kepada-Mu? Bagaimana aku tidak akan berdoa kepada-Mu, sedang Engkau Maha Pemurah?”
Diceritakan bahwa Musa as. berjalan melewati seorang laki-lak:i yang sedang berdoa dengan rendah hati kepada Allah. Musa berkata, “Ya Allah, seandainya kebutuhannya ada dalam tanganku, niscaya akan
kupenuhi doanya.” Allah swt. mewahyukan kepada Musa, ‘Aku lebih pengasih kepadanya daripadamu. Dia memang berdoa kepada-Ku, tapi hatinya terpaut pada domba-dombanya. Sedang Aku tidak akan mengabulkan doa seorang hamba-Ku yang hatinya terpaut pada selain Aku.”Ketika Musa mengatakan kepada orang itu apa yang diwahyukan Allah swt. kepadanya itu, dia segera memalingkan hatinya dengan penuh perhatian kepada Allah swt, dan urusannya pun selesai.
Seseorang bertanya kepada Ja’far ash-Shadiq, “Apa sebabnya, kita berdoa tetapi tidak pernah dikabulkan?” Beliau menjawab, “Itu karena engkau berdoa kepada Tuhan yang engkau tak punya pengetahuan tentang-Nya.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan, “Ya’qub bin Layts ditimpa penyakit yang membuat para dokter tidak berdaya. Mereka lalu berkata kepadanya, `Di negeri tuan ada seorang laki-laki saleh bernama Sahl bin Abdullah. Jika dia berdoa untuk tuan, niscaya Allah swt. akan mengabulkan doanya.’ Ya’qub pun lalu mengundang Sahl dan memerintahkan, `Berdoalah kepada Allah untukku.’ Sahl berkata, `Bagaimana doaku untukmu akan dikabulkan, sedangkan engkau berlaku zalim kepada orang banyak di dalam penjaramu?’ Maka Ya’qub lalu melepaskan semua orang yang ada dalam penjaranya. Sahl lalu berdoa, `Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memperlihatkan kepadanya hinanya ketidakpatuhan kepada-Mu dengan menyembuhkan penyakitnya.’Ya’qub bin Layts lalu sembuh. Dia mencoba memberi Sahl harta kekayaan, tetapi Sahl menolak.
Seseorang berkata kepada Sahl, `Jika saja engkau mau menerimanya, engkau bisa memberikannya kepada orang miskin.’ Beberapa waktu kemudian, saat Sahl sedang memandangi kerikil-kerikil di padang pasir, kerikil-kerikil itu tiba-tiba berubah menjadi batu-batu permata. Dia bertanya kepada para sahabatnya, Apa perlunya bagi orang yang telah diberi anugerah seperti ini, menerima harta kekayaan dariYa’qub bin al-Layts’?”
Diceritakan bahwa Salih al-Marry sering menegaskan, “Barang siapa yang gigih mengetuk pintu, berarti sudah dekat saat terbukanya pintu itu baginya.” Rabi’ah Adawiyah bertanya kepadanya, “Sampai kapan engkau akan mengatakan begitu? Kapankah pintu itu tertutup hingga orang terpaksa memintanya agar dibuka?” Salih menjawab, “Seorang laki-laki yang sudah tua tak tahu akan kebenaran, dan seorang wanita mengetahuinya!”
As-Sary berkata, “Suatu ketika aku menghadiri pengajian Ma’ruf al-Karkhy. Seorang laki-laki datang kepadanya dan meminta, `Wahai Abu Mahfudz, berdoalah kepada Allah untukku, agar Dia mengembalikan kantongku. Kantong itu dicuri orang; isinya uang seribu dinar.’ Ma’ruf tetap diam. Untuk ketiga kalinya orang itu mengulangi permintaannya. Kemudian Ma’ruf menjawab, Apa yang harus kukatakan? Kukatakan, apa yang telah kuriwayatkan dari Nabi-nabi-Mu dan Wali-wali-Mu yang suci? ’ Kemudian Ma’ruf mengembalikan kepada-Nya. Tapi orang itu tetap mendesak, `Berdoalah kepada Allah untukku.’ Ma’ruf pun bedoa, `Ya Allah, pilihkanlah apa yang paling baik baginya’.”
Diriwayatkan bahwa al-Layts berkata, “Suatu ketika aku melihat Uqbah bin Nafi’ dan dia dalam keadaan buta. Kemudian aku bertemu dengan dia lagi, sedang matanya bisa melihat. Aku bertanya kepadanya , `Bagaimana penglihatanmu bisa pulih kembali?’ Dia menjawab, bahwa dalam mimpinya ada suara berseru, `Katakanlah, wahai Yang Maha Dekat, wahai Yang Maha Mengabulkan, wahai Yang Mendengarkan doaku, wahai Yang Maha Baik dalam kehendak-Nya,
kembalikanlah penglihatanku.’ Kuulangi doa ini dan Allah swt. lalu mengembalikan penglihatanku’.”
Syeikh Abu All ad-Daqqaq berkata, “Aku menderita sakit yang parah di mataku ketika untuk pertama kalinya aku kembali dari Marw ke Naisabur. Sudah agak lama aku tak bisa tidur. Suatu pagi aku tertidur lelap dan kudengar seseorang bertanya kepadaku, ‘Tidakkah Allah mencukupi bagi hamba-Nya?’ (Q.s. Az-Zumar: 36).
Aku terbangun dan kudapati penyakitku telah hilang dari mataku dan rasa sakitnya pun telah berhenti. Sesudah itu aku tak pernah lagi menderita sakit mata lagi.”
Diceritakan bahwa Muhammad bin Khuzaymah berkata, “Aku sedang berada di Iskandariyah ketika Ahmad bin Hanbal meninggal dunia. Aku betul-betul merasa sedih, hingga aku bermimpi bertemu dengan Ahmad bin Hanbal. Kulihat dia sedang melenggang. Aku bertanya, `Wahai Abu Abdullah, gerakan apa ini?’ Dia menjawab, `Ini adalah cara bergerak hamba-hamba di Rumah Kedamaian.’
Aku bertanya, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu?” Dia menjawab, `Dia telah mengampuniku, menempatkan sebuah mahkota di atas kepalaku, dan memberiku sepasang sandal emas untuk kupakai.
Allah berfirman kepadaku, ‘Wahai Ahmad, semua ini karena engkau telah menjaga al-Qur’an sebagai firman-Ku.’Kemudian Dia berfirman, ‘Wahai Ahmad, berdoalah kepada-Ku dengan kata-kata yang engkau terima dari Sufyan ats-Tsaury, yang dulu engkau ucapkan waktu engkau masih hidup.’ Maka aku pun berdoa, `Wahai Tuhan semesta, dengan kekuasan-Mu atas segala sesuatu, ampunilah segala dosaku dan janganlah Engkau tanyai aku tentang sesuatu pun.’
Kemudian Allah mempermaklumkan, ‘Wahai Ahmad, inilah surga. Masuklah!’ Lalu aku pun masuk’.”
Suatu hari, ada seorang pemuda yang memegang kain penutup Ka’bah dan berkata, “Tuhanku, tak ada seorang pun yang mesti didekati selain Engkau, tidak pula ada seorang perantara yang bisa disuap. Jika aku mematuhi-Mu, itu adalah karena limpahan rahmat-Mu, dan segala puji adalah bagi-Mu. Jika aku menentang-Mu, itu adalah karena kejahilan dan kesombonganku. Engkau punya argumentasi yang tak terbantah terhadap diriku melalui bukti-Mu terhadap diriku dan melalui ketiadaan argumentasiku terhadap-Mu, kecuali jika Engkau mengampuniku.”
Kemudian dia mendengar sebuah suara batin yang berseru, “Anak muda ini telah dibebaskan dari neraka.”
Dikatakan, “Manfaat doa adalah menampakkan kebutuhan di sisi-Nya. Jika doa tidak dilakukan, Allah swt. akan melakukan apa yang dikehendakiNya.”
Dikatakan juga, “Doa awam dilakukan dengan ucapan, doa kaum zahid dilakukan dengan tindakan, dan doa kaum ‘arifin dilakukan dengan ihwal hati.”
Juga dikatakan, “Doa terbaik adalah doa yang dikobarkan dengan kesedihan.”
Salah seorang Sufi menyatakan, “Jika engkau berdoa kepada Allah swt. agar dianugerahi sesuatu dan doamu dikabulkan maka berdoalah, siapa tahu saat itulah memang saat dikabulkannya doamu.”
Dikatakan, “Lidah kaum pemula terucap lewat doa, namun lidah mereka yang telah mencapai hakikat terbelenggu dalam kebisuan.” `
Ketika al-Wasithy diminta berdoa, dia menjawab, “Aku takut bahwa jika aku berdoa, Allah swt. akan berfirman kepadaku,
‘Jika engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang telah ditetapkan untukmu,’ berarti engkau meragukan Aku. Jika engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak ditetapkan bagimu, berarti engkau tidak memuji-Ku sebagaimana seharusnya. Namun jika engkau bersikap ridha terhadap keputusan-Ku, Aku akan memberikan anugerah lebih dari harapanmu’.”
Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Mubarak berkata, “Sudah limapuluh tahun aku tidak berdoa, dan aku tidak menginginkan orang lain berdoa untukku.”
Dikatakan, “Doa adalah tangga bagi orang-orang yang berdosa.”
Dikatakan juga, “Doa adalah saling bertukar pesan. Selama kedua pihak tetap bertukar demikian, semuanya akan baik.”
Dikatakan, “Orang-orang yang berdosa mengucapkan doa dengan air mata.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Jika seorang berdosa menangis, berarti dia telah membuka hubungan dengan Allah swt.” Tentang hal ini, para Sufi bersyair berikut:
Air mata pemuda mengungkapkan apa yang disembunyikan;
Nafasnya menjelaskan hati yang menyembunyikan rahasia.
Salah seorang Sufi menyatakan, “Berdoa berarti meninggalkan dosa-dosa.”
Dikatakan, “Doa adalah cara seorang pencinta mengungkapkan kerinduaanya.”
Dikatakan, “Diizinkan berdoa, lebih baik dari anugerah.”
Al-Kattany menyatakan, “Allah swt. tidak menganugerahkan kaum beriman, untuk rnengungkapkan rasa bersalah, kecuali untuk membuka pintu kemaafan.”
Dikatakan juga, “Berdoa menyebabkan engkau hadir di hadirat Allah swt, sedang dikabulkannya doamu menjadikan engkau berpaling menjauh. Dan berdiri saja di pintu, lebih baik daripada pergi dengan membawa balasan.”
Dikatakan, “Doa berarti menghadap Allah swt. dengan ungkapan rasa malu.”
Dikatakan, “Satu prasyarat doa adalah bertumpu pada keputusan Allah swt. bersama ridha.”
Dikatakan pula, “Bagaimana engkau akan menunggu ijabah doa, sedang engkau menghalangi jalannya dengan melakukan dosa-dosa?”
Seseorang meminta kepada salah seorang Sufi agar didoakan: “Doa-kan aku.” Dijawab, “Engkau cukup dengan Allah swt. daripada unsur lain yang kau jadikan perantara antara dirimu dengan Diri-Nya.”
Abdurrahman bin Ahmad berkata, “Aku mendengar ayahku menceritakan bahwa seorang wanita datang kepada Taqy bin Mukhlad dan mengatakan kepadanya, `Orang-orang Byzantium telah menawan anakku. Aku tak punya apa-apa lagi di rumahku selain anakku itu. Aku juga tidak bisa menjual rumahku. Jika saja tuan bisa membawa saya kepada seseorang yang bisa menebusnya, sebab saya sudah tak tahu lagi mana siang mana malam. Saya tidak bisa tidur ataupun beristirahat.’ Taqy berkata kepadanya, `Baiklah, pergilah sampai aku melihat masalah ini, Insya Allah.’ Kemudian syeikh itu menundukkan kepalanya dan menggerak-gerakkan bibirnya. Kami menunggu beberapa saat lamanya. Kemudian wanita itu datang lagi bersama anaknya dan berseru kepada syeikh tersebut, Anakku telah kembali dengan selamat, dan dia punya cerita untuk tuan.’
Anaknya itu lalu mengisahkan, `Saya sedang berada dalam tawanan seorang pangeran Byzantium bersama dengan sekelompok tawanan. Sang panrgeran menugaskan seseorang untuk menyuruh kami bekerja setiap hari. Orang itu membawa kami kembali dari bekerja setelah matahari terbenam dengan dikawal oleh orang itu. Tiba-tiba rantai yang mengikat saya terputus dan jatuh dari kaki saya.’
Anak muda itu menyebutkan hari dan saat di mana peristiwa itu terjadi, dan saat itu adalah persis ketika wanita itu mendatangi Syeikh Taqy saat beliau berdoa. Si pemuda melanjutkan ceritanya:
`Pengawal memukul saya dan berteriak, `Engkau telah memutuskan rantai ini!’ Saya berkata, `Tidak, ia jatuh sendiri dari kaki saya!’
Orang itu kebingungan dan tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia memanggil teman-temannya, lalu memanggil seorang pandai besi. Mereka lalu merantai saya lagi. Tapi begitu saya berjalan beberapa langkah, rantai itu terlepas lagi dari kaki saya. Mereka tercengang dan kemudian memanggil para pendeta mereka. Para pendeta itu bertanya kepada saya, “Apakah engkau punya ibu?” Saya katakan, `Ya.’ Mereka lalu berkata, `Doa ibumu telah dikabulkan. Allah swt. telah membebaskanmu. Kami tak bisa lagi merantaimu.’ Kemudian mereka memberi saya makanan dan bekal lalu menyuruh seorang pengawal mengantarkan saya sampai ke daerah kaum Muslimin’.”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment